Senin, 08 Maret 2010

Membangun budaya sebagai identitas bangsa dengan mencanangkan program Java Day

BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang
Bahasa Jawa merupakan budaya lokal yang sudah selayaknya dilestarikan dan mendapat perhatian lebih dari generasi Suku Jawa. Hal itu dikarenakan bahasa jawa sudah menjadi salah satu simbol jati diri Suku Jawa yang tidak akan dimiliki oleh budaya suku lain di Indonesia. Saat ini kebudayaan lokal tiap daerah sudah mulai pudar termasuk bahasa jawa, ini disebabkan semakin minimnya pengguna bahasa jawa di Pulau Jawa. Akibatnya semakin banyak generasi Suku Jawa yang kehilangan identitasnya, yaitu tidak bisa berbahasa jawa dengan baik dan benar.
Pudarnya bahasa jawa di Pulau Jawa juga dipicu oleh pengaruh globalisasi sehingga para generasi muda menganggap bahasa asing lebih penting dari pada bahasa lokal. Tuntutan era globalisasi memposisikan bahasa jawa dipandang sebelah mata oleh generasi Suku Jawa. Oleh karena itu hal ini juga berdampak pada memudarnya etika sopan santun dalam budaya jawa.
Untuk menyikapi hal tersebut, Dinas Pendidikan ( Dispendik ) Surabaya mencanangkan program Java Day yaitu sehari berbahasa jawa. Program itu telah resmi ditandatangani Kepala Dispendik Drs. Sahudi, MPd pada tanggal 14 Februari. Dalam harian Jawa Pos beliau menjelaskan bahwa program ini sebagai upaya menumbuhkembangkan dan melestarikan budaya serta penanaman etika sopan santun bagi siswa sekolah SD/ SMP/ SMA/ SMK negeri dan swasta sekota Surabaya. Para siswa dan guru diminta agar menggunakan bahasa jawa sebagai alat komunikasi dan interaksi di sekolah sehari dalam seminggu, yaitu setiap hari senin. Kebijakan tersebut termuat dalam surat nomor 421.2/0123/436.56/2008.
Tujuan dari kebijakan tersebut ialah mengenalkan budaya daerah kepada para siswa dan masyarakat setempat. Meskipun demikian, program ini masih menimbulkan kontroversi dalam efisiensi dalam proses belajar mengajar. Oleh sebab itu, program ini dirasa belum dapat memberikan solusi dan justru menimbulkan masalah baru.
Masalah itu muncul berawal dari notebene masyarakat Surabaya yang heterogen dan bukan hanya berasal dari Suku Jawa. Program Java Day terkesan memaksakan budaya jawa kepada suku lain. Dampak lainnya ialah Surabaya merupakan salah satu kota yang menjadi barometer di Indonesia, apabila Dispendik memasukkan budaya lokal dalam sebuah kebijakan maka tidak menutup kemungkinan juga akan dilakukan oleh kota-kota lain di luar Pulau Jawa. Ini justru akan mengancam integrasi bangsa Indonesia yang mempunyai bahasa nasional yaitu bahasa Indonesia.
Pelaksanaan Java Day juga dapat mengganggu interkasi dalam proses balajar dan mengajar, sebab siswa dan guru yang tidak berasal dari Pulau Jawa akan mengalami kesulitan untuk berbahasa Jawa yang baik dan benar. Apabila informasi dalam proses balajar mengajar tidak tersampaikan dengan baik maka ketertarikan dan minat siswa pada suatu pelajaran juga menurun. Program Java Day pada hakekatnya memang ingin mangangkat bahasa jawa agar lebih dihargai dan dikenal generasi penerus bangsa Suku Jawa, namun kenyatannya istilah program tersebut menggunakan bahasa asing sehingga tidak didukung dengan penggunaan bahasa jawa, hal ini sebenarnya telah bertolak belakang dengan esensi dari diterapkannya Java Day di Surabaya.
Meninjau dari segala masalah yang ada, maka harus ditemukan solusi yang bisa menjembatani upaya pemerintah untuk menjaga agar budaya daerah tidak musnah dengan pengalaman nyata yang terjadi ditengah masayarakat. Di era globalisasi ini sudah selayaknya memanfaatkan audio visual semaksimal mungkin untuk melestarikan bahasa jawa. Metode ini diasumsikan akan lebih menarik minat siswa dalam memahami lebih jauh tentang bahasa jawa. Secara tidak langsung cara ini akan mendorong siswa untuk mempraktekkan sendiri sesuai keinginannya.
Metode audio visual ini bisa dimasukkan dalam pembelajaran bahasa jawa di sekolah-sekolah serta bisa diperdalam melalui kegiatan ekstrakurikuler bahasa dan budaya jawa sesuai dengan kebijakan yang ada di sekolah. Kegiatan ekstrakurikuler ini dimaksudkan untuk siswa yang tertarik dengan segala budaya jawa akan membentuk sebuah komunitas. Ikatan primordial yang ada pada komunitas tersebut dapat menciptakan rasa percaya diri untuk melestarikan budaya jawa karena mereka merasa mempunyai partner yang sejalan. Segala kemampuan dan kreatifitas anggota dalam komunitas tersebut akan dieksplor sehingga dapat menarik perhatian siswa lain yang sebelumnya tidak terlalu tertarik dengan budaya jawa, khususnya bahasa jawa. Apabila tercipta keadaan yang kondusif dan menyenangkan dalam berbahasa jawa, maka pemerintah tidak perlu lagi mencanangkan program Java Day di masyarakat Surabaya yang heterogen.

I.2 Rumusan Masalah
Mengapa Dispendik mencanangkan Java Day di sekolah-sekolah Surabaya?
Apakah penerapan metode Audio-Visual bahasa jawa bisa efektif diterapkan pada lingkungan masyarakat heterogen di wilayah Surabaya?
I.3 Tujuan
Secara praktis dapat melestarikan eksistensi bahasa jawa di Surabaya tanpa menimbulkan kontroversi di tengah masyrakat Surabaya yang heterogen
Secara akademis agar dapat mendukung efektifitas dalam proses belajar mengajar dan interaksi antara guru dan siswa
  1. I.4 Manfaat
    · Upaya pemerintah untuk mengenalkan dan melestarikan bahasa jawa di masyarakat Surabaya yang heterogen bisa berjalan dengan baik
    · Masyarakat yang berasal dari luar Pulau Jawa tidak merasa dipaksa harus mempelajari bahasa jawa dan masyarakat Surabaya secara keseluruhan akan lebih mudah untuk mendapatkan dan memahami bahasa jawa dalam kemasan audio visual


    BAB II
    LANDASAN TEORI

    Bahasa Jawa sebagai alat komunikasi lokal di daerah Surabaya (Jawa Timur) khususnya mempunyai peranan dan kedudukan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Penggunaan Bahasa Jawa sebagai alat komunikasi antar personal cukup fleksibel dan universal. Fleksibel berarti Bahasa Jawa dapat digunakan dimana saja dan kapan saja. Apabila dikatakan universal dapat diartikan pada dasarnya Bahasa Jawa dapat digunakan dan dimengerti masyarakat masyarakat Jawa secara keseluruhan, bahkan bahasan dari Bahasa Jawa secara runtut mencakup segala aspek dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, sebab didalamnya juga mencerminkan budi pekerti dan budaya luhur yang bernilai tinggi.
    Penggunaan Bahasa Jawa erat kaitannya dengan budaya Jawa. Mempelajari Bahasa Jawa berarti mempelajari budaya Jawa, keterkaiatan bahasa dalam budaya dikarenakan bahasa menjadi salah satu unsur budaya (Koentjaraningrat, hal 339 ). Hal ini berarti bahasa dalam masyarakat mempunyai kedudukan yang penting bagi pelestarian kebudayaan. Kebudayaan sendiri mencakup segala aspek (holistic) yang memandang masyarakat sebagai bagian dari kesatuan sosial yang mempunyai kultur masing-masing sesuai dengan daerah tempat tinggalnya. Setiap daerah mempunyai bahasa yang berbeda khususnya perbedaan pada logat atau dialek (dialect).
    Kebudayaan itu bukan milik pribadi, melainkan milik masyarakat secara luas sebagai pendukung budaya, namun akhir-akhir ini di khawatirkan mengalami kepunahan yang semakin serius. Hal itu diasumsikan karena kebudayaan telah berada pada titik kejenuhan artinya suatu budaya dirasa sudah tidak sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan pendukung budaya tersebut. Perubahan budaya dalam masyarakat biasa dipengaruhi oleh adanya globalisasi sehingga karakter masyarakat suatu bangsa dapat berubah seiring dengan perkembangan IPTEK yang semakin pesat. Kondisi masyarakat Surabaya yang heterogen dengan beraneka ragam etnis yang ada di dalamnya dapat mewakili sebagian gambaran masyarakat Indonesia yang plural dengan corak budayanya masing-masing. Dalam situasi tersebut, masyarakat Surabaya sudah seharusnya memiliki kesadaran pluralisme terhadap budaya etnis lain yang juga berdomisili di Surabaya. Banyak wacana yang menjelaskan bahwa kesadaran pluralisme itu perlu di revitalisasi agar dapat membangun kembali kesadaran kebangsaan. Keberagaman harus ditempatkan secara setara sebagai modal berharga untuk memperkuat bangunan kebangsaan ( Menurut Ilham Khoiri dalam artikelnya Mimpi Indah Merajut Kebangsaan, Kompas 16 agustus 20007).
    Dalam menyikapi wacana ini, Surabaya sebagai kota kedua terbesar di Indonesia dan merupakan kota metropolis, sudah tentu menjadi barometer bagi kota-kota lain yang ada di Indonesia. Oleh karena itu, dalam perkembangan selanjutnya Surabaya akan menjadi tolak ukur tentang keberhasilan dan keefektifan Java Day yang telah dicanangkan oleh Dispendik di sekolah tingkat SD/SMP/SMA/SMK. Pemakaian Bahasa Jawa di Surabaya seharusnya dapat diselaraskan dengan kondisi masyarakat Surabaya yang heterogen dan mempunyai kultur berbeda dari masyarakat Surabaya asli (masyarakat Jawa). Etnis Tionghoa, Batak, Madura yang juga banyak berdomisili di Surabaya juga turut andil dalam kemajuan dan pembangunan Kota Surabaya. Kota metropolis seperti Surabaya justru dapat mengambil keuntungan dengan beragam budaya yang dimiliki etnis lain, yakni dengan pengelolahan yang baik terhadap keanekaragaman budaya yang ada akan dapat menambah pemasukan daerah Surabaya, sehingga pembangunan Surabaya di segala aspek juga dapat terlaksana berkat kerjasama pemerintah dan masyarakatnya. Meninjau kondisi Surabaya yang seperti ini, tentunya dibutuhkan suatu keefektifan program (kebijakan) pemerintah yang dikemas dalam suasana fleksibel agar pengembangan bahasa Jawa dapat diterima dan dipahami dengan mudah oleh masyarakat luas.
    Menurut Koentjraningrat dalam bukunya Pengantar Antropologi , menjelaskan bahwa suku bangsa yang besar terdiri dari berjuta penduduk akan bervariasi sesuai dengan daerah lingkungan geografis serta sesuai dengan lingkungan sosial dalam masyarakat suku bangsa. Dalam Bahasa Jawa terdapat perbedaan logat antara Bahasa Jawa yang diucapkan orang Purwokerto, Tegal, Surakarta atau di daerah Surabaya, namun meskipun demikian Bahasa Jawa tetap dapat diterapkan dimana saja sesuai dengan kultur masyarakat pendukungnya. Wilayah Surabaya juga berupaya menghidupakan kembali Bahasa Jawa, ini dibuktikan adanya keputusan Dispendik tentang penggunaan Bahasa Jawa di lingkungan SD/SMP/SMA/SMK se-Surabaya yang bertujuan untuk mengembangkan serta melestarikan sastra dan budaya Jawa. Penerapan Bahasa Jawa telah dilakukan di daerah Jawa Tengah. Menurut Humas Javanologi, Solo sudah menerapkan pemakaian Bahasa Jawa seminggu pada hari kamis yang terkenal dengan sebutan “kemisan”. Kebijakan tentang penggunaan Bahasa Jawa yang diterapkan di daerah Solo tersebut memang sudah terlaksana sudah lama dan masih dapat diterima masyarakat karena dirasa cocok dengan dengan kultur daerahnya. Solo yang masih kuat kuat dengan adat budaya lokalnya, latar belakang budaya Jawanya yang kental masih terasa. Pada masa lalu sistem pemerintahan Kota Solo adalah kerajaan dan sisa-sisa pemerintahan waktu itu masih dijaga serta dilestarikan sampai saat ini, bahkan keberadaan keraton solo dan keluarga keturunan raja dulu juga masih sangat dihormati masyarakat sekitarnya, sehingga dampaknya ialah nilai budaya Jawa yang masih melekat erat ditengah masyarakatnya.
    Kondisi kultur Kota Solo sangat jauh berbeda dengan Surabaya. Keberadaan Kota Surabaya dengan wilayah yang padat penduduknya, heterogenitas etnis, disertai dengan perkembangan IPTEK yang sangat pesat membuat gaya hidup masyarakatnya condong kepada westernisasi dan modernisasi. Oleh sebab itu pemerintah Surabaya harus cermat membaca kondisi yang tengah terjadi dalam masyarakatnya, membuat kebijakan yang berkaitan tentang pelestarian budaya lokal seperti Bahasa Jawa bukanlah langkah yang mudah untuk diterapkan di Surabaya sebagai kota metropolis. Pemerintah harus memperhitungkan keefisienan kebijakan yang dicanangkan agar tidak muncul kontroversi yang memicu konflik antar etnis dalam mengaktualisasikan budaya masing-masing di wilayah Surabaya.
    Adanya kebijakan Java Day yang ada di Surabaya cukup memicu banyak kontroversi, hal ini dikarenakan istilah asing yang digunakan telah menyalahi esensi dari diberlakukannya hari pemakaian Bahasa Jawa. Selain itu, kebijakan ini dikeluarkan oleh Dispendik yang ditujukan untuk sekolah-sekolah yang ada di Surabaya, ini akan membuat siswa atau guru yang berasal dari etnis lain akan merasa diasingkan karena kebijakan ini dirasa tidak menghargai budaya lain yang ada di Surabaya dan memaksa etnis lain turut melaksanakannya. Oleh karena itu, untuk mengatasi masalah yang muncul, media cetak maupun elektronik punya potensi yang jauh lebih besar untuk mempengaruhi perilaku masyarakat tanpa rasa terpaksa, termasuk dalam berbahasa. ( 2008, Jawa Pos: 3 Februari ). Penggunaan media elektronik maupun cetak seharusnya dapat difungsikan sebagai sarana penunjang pembelajaran sastra dan budaya Jawa di daerah Surabaya. Selain kemasannya lebih menarik dan mampu memenuhi tuntutan jaman modern, efisiensi dan efektifitas media ini akan lebih menguntungkan. Metode pembelajaran Audio-Visual akan lebih bermanfaat karena siswa akan lebih mudah mengerti dan mempunyai minat untuk mempelajari Bahasa Jawa. Pembelajaran audio visual sekaligus menyajikan dua pokok bahasan yang penting yakni materi Bahasa Jawa disertai pengenalan budaya dan sastra Jawa sehingga siswa tidak mudah jenuh dalam mengikuti proses pembelajaran. Siswa di sekolah tidak hanya diberi materi Bahasa Jawa yang benar tetapi siswa dapat ikut mengamati dan mengerti tentang seluk beluk Budaya Jawa di Indonesia.



    BAB III
    ANALISIS

    II.1 Pelaksanaan Java Day di Surabaya

    Adanya gagasan Java Day yang diterapkan di Surabaya berdasarkan dari hasil Konggres Bahasa Jawa 2006 di Semarang, instruksi walikota Surabaya dalam forum pendidikan, serta grand design pendidikan dan Kebudayaan Jatim menuju tahun 2025 serta Dinas Pendidikan (Dispendik) kota Surabaya, menindaklanjuti dengan menerapkan program Hari Berbahasa Jawa di seluruh sekolah di Surabaya, melalui surat edaran (SE) nomor : 421.2/0123/436.5.6/2008, tentang penggunaan bahasa Jawa untuk siswa SD, SMP, SMA, SMK negeri dan swasta se-Surabaya.
    Tujuan dari adanya kebijakan tersebut adalah untuk menumbuhkembangkan, melestarikan budaya Jawa serta menanamkan etika sopan santun bagi siswa. Menurut konteks grand design pendidikan dan kebudayaan menuju 2025 seperti yang dirilis Bapetikom juga mengemukakan bahwa bahasa Jawa yang dipakai tidak harus berbahasa khas Suroboyoan tetapi juga bahasa Jawa Tengah. (www.surabaya.go.id). Menurut Kepala Dinas Pendidikan kota Surabaya mengungkapkan bahwa adanya kebijakan penggunaan bahasa Jawa ini ditujukan sebagai upaya untuk melestarikan kebudayaan dan mengingatkan semua pihak di dunia pendidikan bahwa kelestarian bahasa Jawa menjadi tanggung jawab bersama dalam memberikan keterampilan dan juga sikap. Hari berbahasa Jawa dimaksudkan untuk mengantisipasi makin pudarnya kemampuan berbahasa lokal di kalangan pelajar Surabaya. Hal ini dikarenakan kemampuan berbahasa Jawa di kalangan pelajar Metropololis dirasakan makin mengkhawatirkan.
    Informasi yang diperoleh dari Humas Javanologi Surabaya (Jawa Timur) merangkap sebagai Komite Bahasa Jawa yang pernah menghadiri kongres nahasa Jawa di Semarang pada bulan September 2006. kongres tersebut merupakan kongres terakhir yang ke-4 dan diadakan empat tahun sekali. Kongres tersebut memutuskan bahwa untuk melestarikan bahasa Jawa itu harus dengan menggunakan bahasa jawa si pendidikan, untuk daerah-daerah yang menggunakan bahasa jawa termasuk Tawa Tengah, DIY, Jawa Timur. Dirgen Pendidikan menindaklanjuti dengan keputusan penggunaan bahasa jawa dimasukkan dalam kurikulum. Wilayah Jawa Timur, kebijakan dari Dispendik dikeluarkan pada tanggal 14 Januari 2008 untuk berbicara bahasa Jawa stiap senin di sekolah-sekolah sekodya Surabaya. Keputusan Kepala Dinas Kodya Surabaya yang diselaraskan dengan hasil Kongres di Semarang. Kebijakan ini mempunyai tujuan melestarikan budaya dan sastra jawa sebagai unsur budaya nasional. Hal ini dikarenakan banyak sekali hasil-hasil pemikir masa lampau yang mempunyai nilai (adiluhung). Pelaksanaan bahasa jawa baku disesuaikan dialek masing-masing daerah. Selain hasil kongres itu, kebijakan tersebut juga dikarenakan Surabaya sebagai ibu kota provinsi Jatim maka akan memberikan contoh pada daerah-daerah lain di seluruh Jawa Timur. Kebijakan Dispendik itu mempunyai tujuan utama yakni untuk mengembalikan kepribadian budaya yang dianut dari masing-masing daerah.

    II.2 Keefektifan Audio-Visual sebagai sarana Pembelajaran bahasa Jawa

    Bahasa Jawa merupakan bahasa ibu yang mencirikan kultur masyarakat Jawa yang cenderung bersifat ramah tamah, sopan santun, berkepribadian halus serta menghargai budaya dari etnis lain. Pemakaian bahasa Jawa pada dekade ini mulai luntur. Terbukti pada peminat bahasa Jawa di universitas Purbaya hanya ada 9 orang (http://www.vcaa.vi.edu), adanya majalah ataupun artikel dengan bahasa Jawa yang kurang diminati oleh masyarakat Jawa sendiri turut mendukung bahwa peranan dan kedudukan bahasa Jawa di wilayah Jawa khususnya Jawa Timur mengalami kemerosotan. Globalisasi turut andil dalam bidang sosial budaya dan ekonomi masyarakat Jawa khususnya Surabaya. Budaya pluralisme dengan corak budaya masyarakat yang berbeda kultur asli masyarakat Jawa semakin marak di kalangan masyarakat.
    Adanya kebijakan pemerintah tentang pemakaian bahasa jawa di sekolah- sekolah Surabaya mulai tingkat SD/SMP/SMA/SMK yang dilaksanakan setiap seminggu sekali yakni .mengharapkan dengan adanya pemakaian bahasa Jawa di daerah Surabaya maka masyarakat akan dapat berperilaku sopan, ramah terhadap sesama. Hal ini bertujuan untuk mengantisipasi banyaknya pergaulan di masyarakat kota Surabaya sendiri yang cenderung bebas, tidak ada tata krama serta kehidupan di kota cenderung keras sehingga generasi penerus bangsa khususnya kaum muda tidak terjerumus pada pergaulan bebas tersebut. Namun, masyarakat yang kontra mempunyai alasan lain pada penerapan bahasa jawa di Surabaya yakni sebagai kota metropolis Surabaya mempunyai penduduk yang padat, heterogen yakni banyak etnis lain yang berdomisili didaerah Surabaya sehingga akan banyak kultur yang berbeda dengan kultur masyarakat Surabaya. Hal ini perlu mendapat kesadaran dan perhatian yang besar mengingat pentingnya menjaga persatuan dan kesatuan antar bangsa Indonesia.
    Surabaya sebagai kota metropolis dengan penduduk yang heterogen juga sebagai ibu kota provinsi Jawa Timur tentu memiliki kekayaan budaya yang tidak hanya berasal dari dalam (local) tetapi juga berasal dari luar misalnya di Surabaya ada orang yang berasal dari Batak, Tiong Hoa maupun madura yang mempunyai label budaya masing-masing yang nantinya akan bermanfaat juga bagi kota Surabaya. Terbukti adanya kampung pecinan yang biasa disebut “ Kia- Kia” yang merupakan daerah dengan mayoritas orang cina yang sebagian bermata pencaharian sebagai pedagang turut menjadi sasaran objek wisata lokal Surabaya. Hal ini mencerminkan bahwa kultur yang berbeda dari masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain antara orang cina dengan orang asli Surabaya saling melengkapi (complementer) serta menghargai budaya setempat dan budaya yang berasal dari daerah lain.
    Fenomena diatas menunjukkan bahwa rasa nasionalisme suatu bangsa dapat terlihat jelas dan kuat karena adanya hubungan kerjasama yang mutualisme. Kebijakan pemakaian bahasa Jawa di sekolah-sekolah Surabaya juga seharusnya memandang dari segala aspek secara menyeluruh sehingga antara masyarakat sebagai pendukung kebudayaan dengan pemerintah sebagai pembuat kebijakan akan berjalan seimbang dan tidak saling berat sebelah. Pemakaian bahasa Jawa dengan ditetapkannya Java Days di sekolah sekolah akan kurang efektif dan efisien karena belum sesuai dengan kondisi masyarakat Surabaya sendiri yang heterogen. Istilah Java Days sendiri menunjukkan bahasa campuran karena menggunakan bahasa asing bukan bahasa jawa pada umumnya. Hal ini berarti pengaruh bahasa asing lebih dominan daripada bahasa Jawa sendiri.
    Penggunaan bahasa Jawa sehari-hari merupakan hal yang wajar serta biasa digunakan sebagai alat komunikasi. Pada waktu dirumah, di sekolah, dimana saja lebih sering digunakan untuk berkomunikasi. Ini menunjukkan bahwa proses pembelajaran bahasa jawa secara langsung yakni di lingkungan keluarga, sekolah, maupun interaksi di dalam lingkungan masyarakat telah terlaksana secara spontan. Ini berarti masyarakat dapat mengenal lingkungannya sendiri, secara alamiah sesuai kultur setempat sehingga dapat menumbuhkan kesadaran akan menghargai dan memiliki rasa cinta terhadap budaya bangsa sendiri khususnya masyarakat Surabaya tentang keberadaan bahasa dan budaya Jawa. Meskipun demikian, lingkungan sekolah mempunyai peranan penting sebagai tempat transfer kebudayaan dan keluarga juga mempunyai peranan yang tidak kalah penting, sebab dalam keluarga seorang individu lebih lama berinteraksi. Lingkungan keluarga turut menentukan pembentukan perilaku dan pola pikir seorang individu.
    Era globalisasi yang disertai teknologi serba canggih membuat masyarakat dituntut bekerja cepat dan tepat dalam menyelsaikan sesuatu. Gaya hidup (life style) seperti ini akan menjadikan masyarakat bertindak dan berpikir yang hanya mengedepankan rasio, bahkan menyelsaikan masalah secara instan lebih diutamakan dengan berbagai cara. Menyikapi gejala sosial yang muncul maka media massa maupun cetak juga mempunyai peranan sebagai media transfer budaya yang lebih memenuhi tuntutan globalisasi. Hal ini menunjukkan bahwa peranan lembaga atau pranata bagi masyarakat akan pemahaman budaya Jawa lebih berpengaruh pada kehidupan sehari-hari masyarakat Surabaya.
    Pada dekade sekarang ini, peranan media elektronik banyak diminati oleh masyarakat. Terbukti adanya akses informasi secara cepat dan canggih melalui internet menjadi alat kebiasaan masyarakat untuk menyelesaikan pekerjaannya. Sistem informasi dengan teknologi yang cepat membuat masyarakat terlatih secara tidak langsung untuk berpikir dan berperilaku secara instan. Peralatan tersebut sedemikian diminati banyak orang karena efektif dan efisien dalam penggunaannya. Begitu juga penetapan Java Days di Surabaya seharusnya tidak perlu karena masyarakat dapat berinteksi secara langsung sehingga dapat dengan mudah memahami kultur budaya jawa dengan efektif dan efisien. Pembelajaran bahasa Jawa dan pemahaman budaya jawa juga dapat dengan mudah di terima masyarakat dengan menggunakan peralatan yang modern, yakni dengan menggunakan Audio-Visual yang sesuai dengan materi bahasa Jawa serta memuat unsur kebudayaan jawa yang dapat dipelajari secara efektif oleh siswa. Pengetahuan yang luas tentang sastra dan budaya jawa akan lebih mudah diserap oleh siswa karena siswa dapat secara langsung mengamati dan memahami materi tersebut sehingga rasa kejenuhan atau kebosanan akan jarang dialami oleh siswa.
    Pembelajaran bahasa Jawa dengan Audio-visual ini dinilai lebih efektif karena pemerintah Jawa Timur khususnya belum mensosialisasikan program pembelajaran melalui media elektronik secara menyeluruh. Sebagian besar sekolah-sekolah di Surabaya saat ini masih belum memberikan pembelajaran dengan menggunakan media elektronik. Pemerintah belum dapat merealisasikan penggunaan dengan media elektronik seperti CD agar dapat lebih efektif dalam penyampaian materinya.
    Pembelajaran dengan sistem Audio-visual ini dengan memberikan pokok-pokok materi tentang bahasa jawa serta pengetahuan tentang kebudayaan jawa yakni antara lain berkaitan dengan penulisan aksara jawa “ HANACARAKA”, cara berbicara dalam bahasa jawa yang baik, kesenian yang dimiliki oleh masyarakat jawa, selain itu akan dilengkapi dengan film yang memuat nilai-nilai budaya Jawa, bahkan dapat pula dikembangkan dengan film dokumenter tentang peninggalan budaya masa lampau. Pengenalan kebudayaan secara langsung melalui Audio-visual yang lebih mudah diserap dan diminati oleh siswa sekolah sehingga memudahkan siswa dan menghilangkan rasa jenuh. Berawal dari ketertarikan inilah akan muncul dengan sendirinya kesadaran untuk melestarikan budaya.
    Metode Audio-Visual ini akan dikemas dalam CD yang berdurasi 45 menit, penyajian lewat CD akan dibagi menjadi tiga seri. Seri pertama menyajikan pengenalan tentang pengertian dan penggunaan Bahasa Jawa, materi penulisan aksara Jawa disertai pengetahuan tentang kesenian dan sastra Jawa. Seri kedua berupa film yang sarat dengan nilai-nilai budaya Jawa, tentunya sebelum pembuatan film ini harus dilengkapi dengan skenario yang telah distandartkan budaya Jawa. Seri ketiga akan berisi tentang film dokumenter peninggalan budaya masa lampau, seperti babat tanah Jawa, kompleks candi peninggalan Majapahit, dan bisa ditambah dengan peninggalan budaya yang lainnya.
    Bentuk penyajian CD ( Compact Disc), yaitu :
    Seri 1
    - Ruang lingkup Bahasa Jawa
    1. Pengertian Bahasa Jawa
    2. Arah dan tujuan Bahasa Jawa
    3. Pembagian dan penggunaan Bahasa Jawa
    Ø Krama Inggil
    Ø Krama Madya
    Ø Bahasa Ngoko
    - Budi Pakarti memuat unsur-unsur udo negoro (sopan santun), subo sito (pengetrapan diri bagi masing-masing pendukungnya), lembah manah (mengatur pengetrapan tutur kata dan tingkah laku)
    - Cara penulisan aksara Jawa berdasarkan Hanacaraka
    - Kesenian Budaya Jawa
    - Sastra Jawa
    v Tembung Macopat
    v Cangkriman / Parikan
    v Bebasan saloka dll
    Seri 2
    - Setting film banyak mengambil tempat bersejarah dan benilai budaya yang ada di Surabaya
    - Menyertakan pentas seni budaya yang ada di Surabaya
    - Menampilkan fenomena sosial budaya yang ada di kota metropolis
    Seri 3
    - Film dokumenter ini menceritakan tentang sejarah-sejarah yang ada di tanah Jawa, misalnya :
    v babat tanah Jawa
    v Kehidupan sosial budaya Suku Osing dan Tengger, Jawa Timur
    v Kehidupan Sosial Budaya Suku Pekok di Ponorogo, Jawa timur
    v dll
    - Ritual yang berkaiatan dengan sistem kepercayaan masyarakat Jawa, seperti:
    v Upacara unduh-unduh di daerah Mojowarno, Jombang
    v Upacara tarung perahu di kenjeran, Surabaya
    v Upacara larung laut di Tuban
    v dll


    BAB IV
    KESIMPULAN

    IV.1 KESIMPULAN

    1. kebijakan Java Day yang dicanangkan oleh Dispendik terhadap seluruh sekolah tingkat SD/SMP/SMA/SMK yang ada di Surabaya berasal dari hasil kongres terakhir di Semarang, yaitu Kongres Bahasa Jawa ke-4 pada bulan September 2006. Dinas Pendidikan (Dispendik) kota Surabaya, menerapkan program Hari Berbahasa Jawa di seluruh sekolah di Surabaya, melalui surat edaran (SE) nomor: 421.2/0123/436.5.6/2008, tentang penggunaan bahasa Jawa untuk siswa SD, SMP, SMA, SMK negeri dan swasta se-Surabaya.
    2. Kondisi masyarakat Surabaya yang heterogen dengan beraneka ragam etnis yang ada di dalamnya dapat mewakili sebagian gambaran masyarakat Indonesia yang plural dengan corak budayanya masing-masing. Dalam situasi tersebut, maka kebijakan dari pemerintah seharusnya diselaraskan dengan situasi masyarakat yang heterogen karena kebijakan yang dibuat pemerintah pada akhirnya akan digunakan oleh masyarakat Surabaya khususnya. Begitu juga masyarakat Surabaya sudah seharusnya memiliki kesadaran pluralisme terhadap budaya etnis lain yang juga berdomisili di Surabaya.
    3. Penggunaan media elektronik maupun cetak dapat difungsikan sebagai sarana penunjang pembelajaran sastra dan budaya Jawa di daerah Surabaya. Selain kemasannya lebih menarik dan mampu memenuhi tuntutan jaman modern, efisiensi dan efektifitas media ini akan lebih menguntungkan.
    4. Metode Pembelajaran Bahasa dan Budaya Jawa dengan Audio-Visual dapat memenuhi tuntutan jaman modern sehingga bisa lebih efektif untuk diterapkan, selain itu akan lebih menguntungkan karena siswa lebih mudah mengerti dan mempunyai minat untuk mempelajari Bahasa Jawa. Pembelajaran Audio-Visual sekaligus menyajikan dua pokok bahasan yang penting yakni materi Bahasa Jawa disertai pengenalan budaya dan sastra Jawa sehingga siswa tidak mudah jenuh dalam mengikuti proses pembelajaran.


    IV.2 SARAN

    1. Pemerintah dalam membuat kebijakan hendaknya juga memperhatikan dari segi masyarakat yang heterogen sehingga penyampaian kebijakan yang dibuat dan ditujukan bagi masyarakat tidak menimbulkan kontroversi dan dapat diterima oleh semua lapisan masyarakat Surabaya
    2. Masyarakat dengan situasi jaman yang serba modern dan canggih seharusnya juga memiliki kesadaran akan mencintai, bangga dengan budayanya sendiri tetapi dengan tetap menghargai budaya lain dengan memfilter budaya tersebut sehingga budaya bangsa dan rasa nasionalisme tidak akan luntur dengan mudah.


    Daftar Pustaka

    Anang.2007.Bahasa Jawa Punah di Pulau Jawa.http://www.google.com
    Chandra, Benny.2008.Sekolah di Surabaya Diharuskan Berbahasa Fajarwisnu.2008.Jawa yang Tidak Jawa. http://stembasurabaya.wordpress.com
    Khoiri, Ilham.2007.Mimpi Indah Merajut Kebangsaan.Kompas
    Koentjaraningrat.1981.Pengantar Ilmu Antropologi.Jakarta:Rineka Cipta
    Nabonenar, Bonari.2008.Menggugat Hari Berbahasa Jawa.http://bonarine.blogspot.com diakses tanggal 2 Februari
    nn.2008.Penerapan Bahasa Jawa di Surabaya.http://jawapos.com
    Jawa.http://mycityblogging.comSegari, Kusnina S.2005.Pelestarian Budaya Tanggung Jawab Para Praktisi Pendidikan.http://www.suarasurabaya.net

Senin, 29 September 2008

DEFINISI EMIK DAN ETIK

Antropolog berupaya menggabungkan faktor-faktor kedalam analisis “holistik”, termasuk biologi, ekologi, linguistik, sejarah, dan ideologi. Prespektif antropologi itu komparatif karena disiplin ini mencari informasi dan menguji eksplanasinya dikalangan semua kebudayaan prasejarah, sejarah, dan kontemporer terhadap kebudayaan-kebudayaan tersebut.
Secara sangat sederhana, emik mengacu pada pandangan warga masyarakat yang dikaji, sedangkan etik mengacu pada pandangan si peneliti. Kontruksi emik adalah deskripsi dan analisis yang dilakukan dalam konteks skema dan kategori konseptual yang dianggap bermakna oleh partisipan dalam suatu kejadian atau situasi yang dideskripsikan dan dianalisis. Kontruksi etik adalah deskripsi dan analisis yang dilakukan dalam konteks skema dan kategori konseptual yang dianggap bermakna oleh komunitas penganut ilmiah.
Robert Lawless membahas istilah emik dan etik dalam kerangka model folk dan model analisis. Model folk adalah representasi stereotipikal, normatif, dan tidak kritikal dari realitas yang dimiliki bersama oleh para anggota suatu kebudayaan. Dan model analisis adalah representasi profesional, eksplanatoris, dan komprehensif dari realitas yang diakui oleh komunitas ilmiah.
Emik dan etik tidak ada kaitannya dengan ontologi. Kejadian, situasi, hubungan dan fakta, tidak pernah terkait dengan emik maupun etik. Kejadian-kejadian dan entitas yang termasuk kedalam dunia empiris semata-mata hanya kejadian dan entitas. Suatu deskripsi, analisis, eksplanasi, atau klaim tertentu terhadap pengetahuan adalah emik atau etik haruslah didasarkan semata-mata pada dasar-dasar epistemologi.
Marvin Haris membedakan pernyataan emik dan etik atas dasar epistemologi, yaitu” kerja emik mencapai tingkat tertinggi tatkala mengangkat informan native pada ststus penilai tertiggi bagi kecukupan deskripsi dan analisis pengamat. Pengujian kecukupan dari analisis emik adalah kemampuannya menghasilkan pernyataan-pernyataan yangt daapat diterima native sebagai nyata, bermakna, atau sesuai.... Kerja etik mencapai tingkat tertinggi tatkala mengangkat pengamat kepada status penilai tertinggi dari kategori-kategori dan konsep-konsep yang digunaakan dalam deskripsi dan analisis”(1979:32).
Pembedaan antara data yang diperoleh atas dasar wawancara dan pengamatan saja tidak dengan sendirinya mencukupi untuk membangun status emik atau etik dari deskripsi dan analisis. Melainkan, deskripsi dan analisis tersebut harus diukur dengan menggunakan standar-standar lain yakni penilaian dari native untuk emik dan evaluasi dari antropologi untuk etik.
Deskripsi dan eksplanasi antropologi adalah etik apabila memenuhi hal-hal sebagai berikut :
1. Deskripsi harus bermakna sesuai dengan komunitas luas pengamat ilmiah.
2. Deskripsi harus divalidasi oleh pengamat secara independen
3. Deskripsi harus memenuhi persyaratan berupa aturan-aturan dalam memperoleh pengetahuan dan bukti ilmiah.
4. Deskripsi harus dapat diterapkan secara lintas budaya.
5. Kajian-kajian dalam konteks teori tahap-tahap perkembangan yang mengilustrasikan bahaya yang bakalan menimpa ilmu-ilmu sosial yang gagal membedakan emik dan etik.
Sebagai antropolog, klaim kita untuk mementingkan eksplanasi yang sahih dan dapat dipercaya terletak pada upaya kita untuk membangun pengetahuan etik. Meskipun mungkin bagi kita untuk mendeskripsikan, membahas, dan membandingkan baik ilmiah maupun tak ilmiah, baik dalam konsep emik maupun etik, eksplanasi ilmiah haruslah eksplanasi etik.
Dengan menegakkan pengetahuan etik sebagai ideal, antropolog berpendirian bahwa pengetahuan antropologi itu harus mampu mengoreksi dirinya sendiri. Antropologi adalah pengetahuan obyektif mengenai kondisi manusia dibenarkan oleh upaya-upaya kita yang kumulatif dan berkesinambungan untuk menguji setiap klaim terhadap pengetahuan. Kita menganggap pengetahuan etik secara obyektif sahih, terutama karena kita memandang sebagai pengetahuan tentatif.
Ada dimensi manusia yang tak terhindarkan dalam kajian antropologi, karena antropologi dipraktikkan oleh antropolog, sebagai subbudaya yang memiliki ciri khusus, disiplin antropologi memiliki struktur pengorganisasian dan sistem nilai yang khas. Pengetahuan dan teori antropologi seharusnya tidak dievaluasi terpisah dari konteks itu.

RITUAL ASYURA MUSLIM SYI'AH INDIA DI SURABAYA

Pengertian Syi’ah

Syi’ah ialah salah satu aliran atau mazhab dalam Islam. Muslim Syi'ah mengikuti Islam sesuai yang diajarkan oleh Nabi Muhammad dan pengikutnya. Syi'ah menolak kepemimpinan dari tiga Khalifah Sunni pertama seperti juga Sunni menolak Imam dari Imam Syi'ah. Muslim Syi'ah percaya bahwa Keluarga Muhammad (para Imam Syi'ah) adalah sumber pengetahuan terbaik tentang Qur'an, dan pembawa serta penjaga terpercaya dari tradisi Sunnah Nabi Muhammad. Secara khusus, Muslim Syi'ah mengakui Ali bin Abi Thalib (sepupu Muhammad, menantu, dan kepala keluarga pengikutnya) sebagai penerus kekhalifahan setelah Nabi Muhammad, yang berbeda dengan Khalifah yang diakui oleh Muslim Sunni. Muslim Syi'ah percaya bahwa Ali dipilih melalui perintah langsung dari Nabi Muhammad, dimana perintah Muhammad berarti wahyu dari Allah.

Perbedaan antara aliran Sunni dan Syi’ah
Perbedaan antara pengikut Sunni dan Syia’h menjadikan perbedaan pandangan yang tajam antara Syi'ah dan Sunni dalam penafsiran Al Qur'an, Hadits, mengenai Sahabat, dan hal-hal lainnya. Sebagai contoh perawi Hadits dari Muslim Syi'ah berpusat pada perawi dari Ahlul Bait, sementara yang lainnya seperti Abu Hurairah tidak dipergunakan. Akidah Syi’ah & Prinsip Dalam Syari’at Sebagaimana Sunni, Syi’ah juga memiliki prinsip dasar dalam teologinya. Dalam hal ini, Syi’ah mempunyai lima dasar, yakni Tauhid (sifat peng-Esaan Allah), Keadilan (Allah Maha Adil, dan manusia bebas berbuat apa saja, yang nanti akan diminta pertanggungjawaban), An-Nubuwwah (Kenabian), Imamah (dua belas Imam), Eskatologi -Ma’ad- (Hari Kiamat). Di samping itu pula bahwa yang membedakan Syi’ah dengan yang lainnya adalah hanyalah keloyalitasan kepada keluarga Nabi.Loyalitas ini sudah ada sejak awal kenabian Muhammad. Loyalitas ini terjadi karena mereka melihat, bahwa Nabi dan keluarganya banyak menerima tindakan yang merugikan. Misalnya tragedi pembantaian keluarga Nabi di Karbala Irak tahun 61 hijriah, di mana Husain dan anak-anaknya terbunuh, bahkan sebagian besar keluarga Nabi dibantai oleh penguasa Bani Umayyah saat itu.

Ø Prosesi ritual Asyura (1-10 Muharram) Muslim Syi’ah India yang ada di Surabaya
Peringatan Asyura dimulai sejak tanggal 1 Muharram dan berlangsung selama sepuluh hari hingga puncaknya yaitu tanggal 10 Muharram. Pada tanggal 1 Muharram, ritual tersebut dimulai dengan berkumpulnya para warga keturunan India yang menganut aliran Syi’ah. Kebanyakan hampir semua yang datang berpakaian hitam yang melambangkan tanda duka cita. Dan yang hadir pun juga bervariasi, dari mulai orang tua, hingga anak-anak kecil, dimana barisan wanita dan pria dipisahkan dengan kain panjang warna hitam. Acara tersebut dimulai dari pukul empat sore dan dibuka oleh ceramah seorang Mullah (imam) yang menceritakan kronologi perjuangan satu-persatu gugurnya para keluarga suci Rasulullah SAW di Karbala. Diceritakan pula tentang kehidupan keluarga Nabi SAW. Dan biasa disebut dengan pembacaan Maqtal Husain. Setelah itu seorang Maddoh, membacakan syair-syair kesedihan tentang Imam Husain, keluarga dan sahabatnya baru kemudian diakhiri dengan doa. Biasanya ketika Maqtal Husain dibacakan para makmum atau yang mereka sebut Jemat akan meratap dan menangis, dan tak lupa bahkan ritual maktam (memukul dada sendiri) juga mereka lakukan. Beberapa simbol ritual lain dilakukan bersama ratap tangis, selain maktam, ada juga yang memukul-mukul rantai, batu dan pedang dan sebagainya. Ritual ini mereka lakukan dengan tujuan agar mereka bisa merasakan penderitaan yang dirasakan oleh Imam Hussein beserta keluarga Nabi Muhammad SAW yang pada saat itu terbunuh di padang Karbala. Setelah prosesi tersebut selesai dilanjutkan dengan Shalat maghrib dan Isya secara bersama-sama. Kemudian ditutup dengan acara makan malam bersama. Namun acara tersebut tidak berhenti sampai disitu. Ritual tersebut berlangsung selama sepuluh hari penuh. Dan ketika puncaknya, yang jatuh pada tanggal 10 Muharram. Ritual tersebut ditutup dengan puasa.
Di Iran, dimana Syi’ah sendiri menjadi aliran yang mayoritas dianut oleh penduduknya mempunyai keleluasaan yang lebih besar untuk melaksanakan peringatan Asyura. Ketimbang di Negara-negara lain, dimana penganut aliran Syi’ah menjadi minoritas. Contohnya di Indonesia, ketika komunitas ini sendiri akan berkembang dan telah menunjukkan eksistensinya. Beberapa pihak menyatakan dan menuding Syi’ah adalah aliran yang sesat, menyimpang dari akidah Islam yang sesungguhnya. Sejarah pernah mencatat, pada 21 September 1997, diselenggarakan sebuah seminar nasional di Jakarta, yang dihadiri pejabat pemerintah, ABRI, MUI, pimpinan ormas Islam, dan masyarakat umum. Melalui seminar itu, keluarlah sebuah keputusan penting menyangkut Syi’ah, antara lain; Syi’ah malakukan penyimpangan dan perusakan Akidah Ahlussunnah Wal Jamaah (paham Sunni, paham yang dianut mayoritas Islam Indonesia), menurut Syi’ah, Al-Qur’an tidak sempurna, Syi’ah terbukti pelaku kejahatan, dituduh penghianat dan teroris. Puncaknya, seminar itu juga mengusulkan agar pemerintah. Kejaksaan Agung melarang Syi’ah, termasuk penyebaran buku-buku Syi’ah di Indonesia. Hal inilah yang menyebabkan komunitas ini tidak dapat dengan leluasa menjalankan segala macam ritual mereka dengan terang-terangan. Bahkan mereka cenderung tertutup kepada siapa pun yang bukan termasuk dalam komunitas mereka.
Berbeda seperti di Iran yang merayakan peringatan Asyura secara besar-besaran. Pada malam-malam ganjil, arak-arakan para pemuda muslim Syi'ah Iran melantunkan puisi di pinggiran jalan. Puisi- puisi yang bernuansa Karbala diperuntukkan Imam Husain. Puisi dan arak-arakan itu diiringi dengan musik Asyura yang beralatkan alat musik khas Persia. Maktam dari mulai memukul dada, hingga ada yang menggunakan benda tajam dilakukan di sesi ini. Peserta arak-arakan ini semuanya laki-laki, dari anak-anak kecil sampai orang dewasa. Umbul - umbul yang bertuliskan sabda Rasulullah SAW tentang Imam Husain mereka panggul dan dibawa serta berarak di jalanan.
Prosesi masih berlanjut berhari-hari. Tidak hanya mendirikan tempat untuk berkumpul dan mendengarkan ceramah, tapi mereka juga mendirikan sebuah tenda Imam Husain, yaitu sebuah perkumpulan anak-anak (tapi juga ditemani oleh kakak dan orang tuanya) pecinta Imam Husain dan keluarganya, dimana setiap harinya mereka mendengarkan ceramah agama tentang peristiwa Karbala. Anak-anak itu berkumpul setiap malamnya, dalam tenda yang dinamakan Haaiat yang mereka dirikan,dan namanya beraneka ragam, mulai dari Haaiat Abu Fadhel Abbas, Haaiat Ali Akbar, Haaiat Bani Hasyim, dan lain-lain. Kegiatan ini berlangsung hingga 10 Muharram. Pada hari ke sembilan, banyak toko-toko tutup lebih awal, perkantoran swasta dan pemerintah serempak tutup dan pergi ke Haaiat terdekat untuk mengikuti peringatan Asyura yang dipimpin oleh Maddoh atau Mullah. Menjelang malam hari H (10 Muharram), seluruh masyarakat turun ke jalan untuk mengadakan arak-arakan. Setiap Haaiat yang memuat 40-60 orang, penuh di jalan-jalan. Tabuhan gendang, tanjidor, pukulan maktam dan iringan musik Asyura melantun bersama puisi- puisi bernuansa peristiwa tragedi Karbala. Puncak acara, di tanggal 10 Muharram, mereka menuju alun-alun kota dan mendengarkan khatib husaini, yaitu kronologi peristiwa Karbala, hingga waktu dzuhur tiba, lalu mereka shalat berjamaah, setelah itu membaca doa ziarah Husain. Selain sedikit perbedaan struktur prosesi peringatan Asyura-dikarenakan disesuaikan dengan keadaan setempat. Penggunaan bahasa yang digunakan dalam doa juga berbeda. Dikarenakan terjadinya sinkretisme dalam hal ini.Muslim Syi’ah India masih menggunakan bahasa India ketika mereka memanjatkan doa-doanya. Berbeda dengan Muslim Syi’ah Iran yang menggunakan bahasa Arab.

Persamaan dan Perbedaan Misi Budaya Masyarakat Minangkabau dan Mandailing

Masyarakat Minangkabau maupun Mandailing sama-sama memiliki “misi budaya” yaitu sebagai seperangkat tujuan yang diharapkan dicapai oleh anggota–anggota suatu masyarakat tertentu yang didasarkan pada nilai-nilai dominan dari pandangan dunia masyarakat tersebut. Disini akan membahas tentang “misi budaya” kelompok etnik Minangkabau dan Mandailing serta pengaruh-pengaruhnya pada praktik–praktik rantau, adaptasi, dan hubungan–hubungan mereka dengan daerah asal. Baik orang Minangkabau maupun Mandailing mendorong masyarakat mereka untuk merantau dalam rangka menjalankan misi budaya ini. Hubungan antar budaya migran dan adaptasi terhadap budaya tuan rumah yang dominan itu dipengaruhi oleh “misi budaya “ yang dominan itu sendiri. Misi budaya dapat mempengaruhi pemilihan pekerjaan dan tempat-tempat pemukiman, karakter dan setiap asosiasi (organisasi paguyuban) yang didirikan oleh para perantau, dan hubungan-hubungan sosial masyarakat perantau dalam konteks kota, termasuk hubungan-hubungan dengan masyarakat-masyarakat tuan rumah. Kita harus melihat interaksi antara “misi budaya” dan latar budaya daerah rantau, karena hal ini mempengaruhi strategi-strategi adaptasi tersebut. Sahlins (1976:22), menyatakan bahwa : ...perubahan dimulai dari budaya, bukannya budaya dimulai dari perubahan ...”;para perantau membuat situasi-situasi baru menjadi bermakna dalam rangka misi-misi budaya mereka.
Bunner mencatat cara-cara bagaimana orang Batak Toba belajar memodifikasi segi-segi budaya tertentu mereka supaya lebih mudah menyesuaikan diri dengan suatu budaya dominan yang berbeda. Malahan dalam persainagn antara kelompok-kelompok dipandang perlu untuk menyamarkan atau menyembunyikan identitas etnik. Studi ini mencoba menghubungkan pengaruh-pengaruh identitas etnik, misi budaya, kehidupan keluarga, dan asosiasi-asosiasi sukarela terhadap strategi-strategi adaptasi dan mrmaduka hal ini dalam suatu perspektif historis mengenai perubahan regional dan nasional. Negeri Minangkabau dan Mandailing adalah tetangga, tapi mereka sangat berbeda. Kelompok Etnik Minangkabau sebagian besar adalah pemeluk agama Islam modernis yang memiliki suatu tradisi matrilineal yan kuat terutama dalam hal suksesi, pewarisan, identitas, legitimasi, dan cenderung untuk merantau. Sedangkan kelompok etnik Mandailing sebagian besar dikenal sebagai muslim konservatif yang memiliki suatu tradisi patrilineal yang kuat dalam hal suksesi, pewarisan, identitas, dan legitimasi.

PERTIMBANGAN-PERTIMBANGAN TEORITIS
ADAPTASI PERANTAU
Migrasi bukan perilaku acak, sebab itu orang-orang yang memutuskan untuk bermigrasi dapat dianggap sebagai orang-orang pilihan diantara populasi (Guillet dan Uzzel). Menurut Whiteford, dewasa ini hipotesis push-pull dianggap terlalu simplistik, karena menganggap semua kekuatan sebagai kekuatan ekstenal dan tidak memperhitungkan adanya kelompok pribadi. Menurut Butterworth, kemiskinan dipedesaan merupakan faktor yang mendorong penduduk meninggalkan tanahnya, gerakan keluar (merantau) itu sifatnya sangat selektif dan kemiskinan itu sendiri tidak merupakan alasan yang cukup untuk bermigrasi.
Keadaan-keadaan biografi personal mungkin merupakan faktor-faktor selektif yang menentukan individu-individu mana yang cenderung bermigrasi. Supaya bisa memperoleh perspektif yang lebih luas maka selain faktor-faktor selektif tersebut diatas, kita harus pula mempertimbangkan faktor-faktor kultural yang menggerakkan migrasi kekota.
Kato menemukan bahwa ketika gerakan merantau semakin populer, maka para perantau yang kembali biasanya membawa kekayaan, kekuasaan, serta prestise baru, selain gagasan-gagasan dan praktik-praktik baru dari dunia luar kedesa asal mereka. Pola merantau ini dikalangan suku Minang populer disebut sebagai “rantau Cina” biasanya mencapai jarak jauh dan menuju kekota-kota besar seperti Medan, Jakarta, dan Bandung. Kaum perantau Minangkabau ini cenderung tinggal lebih lama dan untuk mendapatkan kehidupan lebih mapan. Mereka kembali menjenguk desanya sekali atau dua kali setahun sebagai saat untuk memamerkan kekayaan, pengetahuan dan prestise.
Orang Minangkabau mendorong kaum muda mereka untuk merantau, kalau tidak maka mereka tidak akan diterima oleh sesama orang kampung, mereka dianggap telah gagal menjalankan misi mereka. Penduduk kampung akan menyebut mereka bagaikan “seekor siput pulang dari rumahnya” (pulang langkitang) atau menyebut mereka “begitu perginya, begitu pulangnya (baitu pai, baitu pulang). Tidak ada muka manis bagi perantau yang gagal. Mereka harus kembali kedaerah rantau dan berusaha lagi atau “larut di rantau dan tidak usah pulang”(laruit di rantau urang).Inilah salah satu penyebab dari rantau Cino (migrasi permanen) oleh sebagioan suku Minangkabau.
Harta dan pengetahuan yang dibawa ke kampung halaman oleh para perantau yang sukses sangat dihargai oleh penduduk kampung. Harta itu digunakan untuk membangun atau memperbaiki rumah-rumah para saudara perempuan atau isteri-isteri mereka atau guna membelikan mereka tanah. Mereka juga mengajarkan pengetahuan dan pikiran-pikiran baru untuk mengubah dan memajukan negeri dan adat matrilineal mereka. Bahkan memperkenalkannya pengetahuan-pengetahuan baru telah membawa perubahan-perubahan ini dibawa kembali kedaerah rantau sebagai pedoman bagi para perantau Minang disana. Karena itu orang Minang tidak hanya membawa misi budaya mereka kedaerah rantau tetapi juga membawa perubahan-perubahan dan rumus-rumusan baru dalam adat mereka.
Orang Mandailing bermigrasi dengan motto: ”carilah anak, carilah tanah” (halului anak, halului tano). Menurut Kramer: kompleks “harga diri” ini menggerakkan suku Batak merantau untuk mendirikan kerajaan-kerajaan baru. Kemudian kompleks “harga diri” ini juga ditafsirkan sebagai keinginan untuk menjadi “nomor satu”. Misi perantau Mandailing adalah meluaskan wilayah mereka,berbeda dengan suku Minangkabau, mereka tidak harus membawa pulang harta dan pengetahuan mereka kekampung halamannya. Lagi pula, kampung halaman hanyalah suatu tempat training untuk migrasi, tempat untuk mempersiapkan anak-anak muda merantau berbekal harta dan pendidikan. Suku Minangkabau maupun Mandailing keduanya memakai keluarga dan famili mereka sebagai penghubung-penghubung di kala merantau. Suku Minangkabau tidaj pernah memberikan modal kepada anak-anak mereka, karena semua harta dikampung menjadi milik kerabat matrilineal. Berbeda dengan suku Mandailing, anak-anak muda Mandailing memiliki hak pemilikan dan dapat menjualnya bila perlu. Orang Mandailing di kampung halamannya memberikan perlakuan yang baik kepada perantau yang berhasil maupun yang gagal. Para perantau yang berhasil sebagian hartanya dipergunakan untuk meperbaiki makam leluhur. Perantau yang gagal cukup mengunjungi orang tua dan makam leluhur untuk berdoa demi keberhasilan mendatang didaerah rantau.

STRATEGI ADAPTASI PERANTAUAN DAN BUDAYA TUAN RUMAH
Studi ini ialah menjelaskan perubahan dan kebertahanan para perantau dalam usaha mereka mempertahankan misi budaya dan identitas etnik dalam latar budaya tuan rumah yang sedang mengalami perubahan. DeVos sependapat dengan Barth yang mengemukakan perbatasan-perbatasan kelompok etnik sebagai segi-segi penegas yang penting bukannya hal-hal budaya didalam perbatasan-perbatasan tersebut. Barth menyatakan bahwa kita tidak bisa mengenali sesuatu kelompok etnik hanya dari budayanya saja. Kita harus memperhatikan perilaku mereka, terutama perilaku “mempertahankan perbatasan” tersebut.
Young menjelaskan bahwa proses integrasi, disintegrasi, dan kristalisasi identitas etnik itu merupakan proses yang dinamik. Young tidak memperhitungkan “misi budaya” ketika mencoba menjelaskan hubungan-hubungan antara para perantau dengan tuan rumah dalam latar perkotaan. Studi ini meneliti hubungan-hubungan tersebut dan pengaruh-pengaruhnya terhadap integrasi, disintegrasi, dan kristalisasi identitas etnik. Terdapat dua macam kekuatan terus-menerus mempengaruhi keutuhan kelompok etnik di daerah rantau kota. Ynag pertama, orang-orang dikampung halaman mengharapkan para perantau menjalankan misi budaya dan mempertahankan identitas etnik mereka, dan kedua, para perantau harus menyesuaikan diri dengan latar budaya tuan rumah. Para perantu harus mengendalikan hubungan-hubungan dinamik antara kebertahanan dan perubahan yang mempengaruhi bagaimana mereka beradaptasi.
Kelompok etnik Minangkabau, akibat dari migrasi siklus mereka, tidak selalu tinggal menetap didaerah rantau tertentu, sehingga tidak merasa perlu membangun hubungan yang lestari dengan tuan rumah mereka. Namun orang Mandiling memerlukan hubungan yang dekat dengan orang Melayu karena mereka memerlukan tanah dan rumah tetap untuk menegakkan kerajaan (harajoan) mereka.

MEKANISME-MEKANISME ADAPTIF DAN IDENTITAS ETNIK
Orang Minangkabau yang dibesarkan dalam masyarakat egalitarian yang relatif demokratis, tetapi sangat menghargai kebebasan individual mereka. Sebaliknya, orang Mandailing dibesarkan dalam suatu aristokrasi turun temurun dalam adt dan kepenghuluan (kuria) lebih berkuasa atas diri mereka. Orang Minangkabau menyukai perdagangan, kerajinan, dan pekerjaan-pekerjaan profesional, sementara suku Mandailing menyukai dinas sipil (pegawai), militer, atau polisi, pekerjaan-pekerjaan manual dan bertani. Pemukiman-pemukiman Minangkabau cenderung berkonsentrasi sekitar pusat-pusat pasar, Sementara pemukiman-pemukiman Mandailing cenderung berada dalam daerah pinggiran yang nyaman.
Para perantau juga telah mendirikan asosiasi-asosiasi etnik dan kedaerahan dikota, seiring dengan memakai nama desa di kampung halaman masing-masing. Menurut Butterworth, banyak dari asosiasi-asosiasi ini, sebagai tujuan utamanya, memperbaiki keadaan-keadaan dikampung mereka atau bertindak sebagai penyangga (buffer) antara para perantau baru yang masih kebingungan dengan lingkungan kota yang tidak bersahabat. Namun dalam kasus-kasus yang kami teliti, peran yang paling penting dari asosiasi-asosiasi kedaerahan ini adalah memberikan suatu forum untuk aspek-aspek sekular dari identitas etnik, misalnya seni, musik, dan tari, yang dipandang tidak sesuai untuk asosiasi religius. Asosiasi-asosiasi ini melengkapi peran asosiasi religius dalam mempertahankan identitas etnik. Asosiasi-asosiasi tersebut memberikan bimbingan, dorongan, dan dukungan moral kepada para anggotanya dalam masalah-masalah keluarga selain dalam perdagangan dan bisnis. Dan juga asosiasi religius membuat pengorganisasian, keuangan, dan administrasi para perantau lebih mudah karena para anggota terikat pada satu tempat ibadah tertentu.
Dikampung halaman, asosiasi-asosiasi sukarela itu merupakan sarana-sarana untuk membentuk identitas dan didaerah rantau merupakan sarana-sarana untuk menyamarkan kepentingan-kepentingan etnik. Dalam hal yang pertama, asosiasi sukarela berhadapan dengan tradisi-tradisi lokal dan tradisi-tradisi perantauan, sementara dalam hal yang kedua asosiasi-asosiasi sukarela terutama berkaitan dengan strategi-strategi adaptasi. Kaarena itulah kenapa para perantau beradaptasi kekonteks budaya mereka, dan reaksi-reaksi mereka terhadap keputusan-keputusan mengenai dan proses adaptasi.

DAERAH ASAL DAN MISI DALAM PERANTAUAN
PERAN SURAU DAN LEPAU DALAM MASYARAKAT-MASYARAKAT MINANGKABAU
Surau-surau dan warung-warung nasi (lepau) dalam pembentukan asosiasi-asosiasi sukarela sebelum berdirinya Muhammadiyah yang kemudian menyerap sebagian besar asosiasi-asosiasi lokal. Berdirinya Muhammadiyah sangat erat kaitannya dengan masalah identitas Minangkabau yang muncul akibat perubahan-perubahan nyata dalam bidang politis dan sosial di Sumatra Barat dari 1900 sampai 1930. Surau-surau dan warung-warung nasi merupakan arena untuk pendewasaan serta periode turun tanah anak-anak muda yaitu transisi dari anak-anak menjadi dewasa. Menurut Naim, anak laki-laki antara usia 7 sampai 10 tahun didorong keluar dari rumah ibunya untuk berdiam di surau-surau. Mereka tidur dan bermain disekitar surau, atau tidur bersama teman-teman mereka di lepau-lepau. Ketika mereka mencapai usia 11 sanpai 12 tahun, mereka menjadi pengunjung tetap lapau-lapau tersebut. Dalam surau diajarkan membaca Al-Quran; belakangan didirikan lembaga-lembaga pendidikan disekitar surau. Mereka kembali kerumah hanya waktu makan dan memcuci pakaian untuk kemudian kembali lagi kesurau atau lepau.
Biasanya, terdapat beberapa warung nasi dan surau di kampung, sebab itu mereka dapat berpindah-pindah tempat berkumpul, tergantung keadaan atau anjuran dari mamak (paman dari garis ibu) mereka.Mamak ini mengawasi perilaku dan kemajuan mereka di surau. Surau adalah pusat-pusat pendidikan agama dalam pengertian yang luas, termasuk masalah-masalah yang menyangkut kemashlahatan masyarakat luas. Surau dapat dipandang sebagai lambang kesucian (sacral), sopan santun, serta kepatuhan terhadap Allah. Warung-warung nasi adalah lembaga-lembaga bisnis (profane), melambangkan keduniawian, kekasaran dan keberanian. Disurau orang harus menjaga tingkah lakunya, dan berbicara sopan, tetapi di lepau mereka bisa berbuat semaunya.
Tidak ada surau tanpa lepau didekatnya, baik di Minangkabau atau didaerah rantau, misalnya di Medan. Lembaga ini membantu menyelaraskan kehidupan di Minangkabau. Di lepau orang-orang ngobrol, menceritakan berbagai kabar angin (humor), hal-hal yang agak porno serta membahas masalah polotik. Di surau, anak-anak muda belajar berpidato dengan cara yang teratur, tetapi di lepau mereka belajar berdebat dan mengumbar petatah-petitih. Karena itu lepau di Minangkabau sering disebut sebagai “parlemen swasta”. Di sekitar lepau, dilakukan kegiatan-kegiatan sekuler misalnya pencak silat, perayaan-perayaan kampung, dsb.
Jika laki-laki hanya diam di lepau sepanjang hari tanpa mengunjungi surau untuk mendengarkan petuah-petuah agama, maka orang-orang kampung menamai mereka parewa (perusuh). Jika mereka hanya berdiam disurau, mereka dinamai pakih (orang yang taat pada agama). Baik parewa maupun pakih dianggap sebagai orang-orang yang tidak sempurna. Tidak ada orang yang mau mengambil mereka jadi menantu. Seorang mamak biasanya akan membujuk kemenakannya yang parewa atau pakih untuk pergi merantau.
Karena kehidupan laki-laki Minangkabau itu kebanyakan dihabiskan diluar rumah, mereka menjadi peka terhadap masalah-masalah komunitasnya. Gaya hidup mereka itu menciptakan suatu komunitas yang dinamik.
Banyak desa-desa di Sumatra barat yang memiliki suatu asosiasi sukarela, misalnya Sendi Aman Sungai Batang di danau Maninjau. Asosiasi tersebut mengorganisir kegiatan-kegiatan sosial dan agama untuk penduduk desa. Gagasan ini berasal dari sejumlah haji yang pulang dari Mekkah atau Mesir. Ketika sebuah desa mendirikan suatu asosiasi sukarela, gagasan itu cepat menyebar keseluruh daerah tersebut. Para ulama yang memberikan fatwa di surau, datang dari berbagai desa. Dalam perjalanan mereka dari surau ke surau, mereka menyebarkan gagasan baru tersebut dan membawa berita hilir mudik. Para hadirin yang mendengar khutbah mereka, mulai menerima dan mencernakan gagasan baru tersebut dan menyebarkannya dari surau ke lepau. Dengan cara ini, masalah-masalah sekular serta religius di bahas dan diselesaikan. Masalah-masalah sekuler berkisar dari kesejahteraan desa dan kesehatan sampai masalah-masalah perdagangan dan ekonomik.

KEBANGKITAN MUHAMMADIYAH DAN BENTUK IDENTITAS
Konflik antara Islam dan adat belum diselesaikan selama perang Padri juga masih belum selesai setelah pendudukan Belanda atas Sumatra barat dalam 1820. Salah satu masalah serius yang diajukan oleh ulama di surau adalah masalah legalitas hukum waris matrilineal yang menetapkan bahwa para waris bukanlah anak-anak dari ayah melainkan anak-anak dari saudara perempuan ayah. Konflik ini menyebabkan perang saudara antara pemuka adat dan para ekstremis Islam. Yang disebut terakhir dipengaruhi oleh gerakan Wahabi di Arab Saudi dan menolak gagasan adanya kompromi apapun antara adat dengan Islam. Dalam tahun 1821, para pemuka adat meminta pemerintah Belanda menengahi masalah-masalah intern mereka itu. Ini berakibat jauh terhadap kekuasaan Belanda atas alam Minangkabau.
Perkembangan-perkembangan pada permulaan abad ke dua puluh ini membawa banyak perubahan di Sumbar, terutama pada pertanian paspasan (subsistensi). Makin pentingnya perdagangan menyebabkan makin banyak orang yang menambah penghasilan dari pertanian dengan penghasilan dari berdagang sambilan. Dobbin menyatakan bahwa orang Minangkabau telah berhubungan dengan lalu lintas perdagangan di Lautan Hindia beberapa abad sebelum orang-orang Eropa datang di Indonesia untuk membeli emas Minangkabau. Di lembah perbukitan emas ditambang dan sawah ditanami padi sehingga berkembanglah suatu peradaban Hindu yang mencoba menguasai perdagangan emas dari tanah tinggi ke pantai-pantai. Selanjutnya Minangkabau terlibat dalam perdagangan internasional setelah datangnya orang-orang Eropa pada pertengahan abad kedelapan belas.
Walau Islam dan hukum adat sejak lama telah dianggap sebagai dua tiang sendi identitas Minangkabau tidak bisa dipisahkan, namun arti penting relatifnya terhadap satu sama lain berfluktuasi. Sebelum Islam disebarkan ke Sumbar, sebuah pepatah lama meengatakan : “Adat bersendi alur dan patut”. Setelah masuknya Islam, pepatah ini berubah : “Adat bersendi sarak (Islam);sarak bersendi adat. Disinilah mulai timbulnya tiang sendi lain identitas Minangkabau.
Keberanian dan perjuangan kaum reformis memaksa Belanda menangkap dan membuang Haji Rasul. Belanda mengemukakan alasan membuang Haji Rasul sebagai tuntutan dari penghulu adat dan ulama kolot. Kedua kelompok ini tidak mengakui hal itu, bahkan kemudian bersatu dengan kaum reformis menentang tindakan berkonflik lama antara adat dan syarak (Islam) dilembagakan dalam Muhammadiyah. Gerakan reformis mencoba mempertahankan identitas masyarakat Minangkabau sebagai orang-orang yang independen, dinamik dan peka terhadap masalah-masalah kemasyarakatan. Dalam hal ini Muhammadiyah sebagai organisasi pembaru, menjadi alat misi Minangkabau untuk menyebarkan gagasan pembaharuan kesemua orang Islam, terutama pada komunitas mereka serta anak cucu diperantauan

K.H. AHMAD DAHLAN DAN HAJI RASUL: PENDIRI DAN PENGIKUT
K.H. Ahmad Dahlan, seorang Jawa, putra K.H. Abu Bakar, adalah khatib mesjid sultan di Yogyakarta. Beliau mendirikan gerakan Muhammadiyah pada 18 November 1912. Sebelum beliau mendirikan organisasi itu, beliau mewarisi jabatan ayahnya sebagai khatib kesultanan dan mengajar agam di beberapa sekolah umum di Yogyakarta. Ahmad Dahlan menunaikan hajinya ke Mekah dan bermukim disana selama beberapa tahun. Sementara berada disana, dia mempelajari hukum Islam dengan Haji Ahmad khatib, seorang ulama terkenal dari Minangkabau yang telah mendidik beberapa ulama di Sumatra.
Dahlan mengikuti ajaran-ajaran filsafat mistis Jawa dan nilai-nilai Jawa pada umumnya, sementara menekankan pentingnya rasa hormat yaitu menghormati orang yang berderajat tnggi (hirarkis) serta mengikuti adat berbicara dengan bahasa Jawa yang berlapis-lapis. Dahlan juga seorang Reformis, tetap menjabat sebagai khatib keraton, sangat konservatif sampai dia meninggal.
K.H. Dahlan maupun Haji Rasul, keduanya adalah pemimpin reformis dan belajar dengan guru yang sama, namun mereka dibesarkan dalam budaya yang sangat berbeda. Dahlan tumbuh dalam budaya Jawa yang paternalistik, sinkretik, dan tradisional, sedangkan Rasul dalam budaya Minangkabau yang egalitarian, rasional, dan dinamik. Di Jawa Dahlan, berusaha menjaga Muhammadiyah dipinggiran percaturan politik nasionalis, mencoba bekerja sama dengan pemerintah Belanda, dan memasukkan pelajaran-pelajaran agama dan umum di sekolah-sekolah Muhammadiyah.

SUKU MANDAILING PADA AKHIR ABAD KEDUA PULUH
Selama tahun 1820-1836, pasukan padri dari Minangkabau, dibawah komando hulubalang Tuanku Rao, menyerang, dan kemudian memerintah Mandailing. Pada waktu itu belum semua kuria (kepala desa), yang memegang hukum adat, memasuki agama Islam. Gerakan Padri mengubah kehidupan sosial dan politis di Mandailing dari kekafiran menjadi reformisme Islam yang dibawah oleh hulubalang-hulubalang Padri yaitu Islam Wahabi. Kuria cemderung dijadikan jabatan yang turun temurun dan kelas-kelas sosial yang berbeda. Kuria memperoleh akses yang lebih besar ke dunia ekonomik dan polotis yang lebih luas dan lebih banyak memperoleh kesempatan untuk meningkatkan kekuasaan dan kekayaan melalui persekutuan dengan Minangkabau.
Menurut Keuning, kehadiran guru-guru Minangkabau di berbagai sekolah Mandailing merupakan kunci guna memahami kenapa, dalam waktu kurang dari dua dasawarsasetelah perang Padri, Mandailing memeluk agama Islam. Di bawah pengaruh guru-guru Minangkabau, telah terperangkap kedalam situasi Minangkabau, terutama dalam kehidupan beragama mereka. Dalam hal ini, masyarakat Mandailing mungkin menganggap situasi Minangkabau bukan sebagai perangkap, tetapi sebagai jalan untuk menegasskan identitas mereka sebagai Muslim, supaya bisa terpisah sepenuhnya dari Batak Toba yang Kristen atau yang masih animisme di utara.

MANDAILING DAN BATAK TOBA : MENARIK GARIS BATAS
Keuning menyatakan, penampilan orang Mandailing dan Batak Toba sehari-hari juga berbeda. Menurut mereka, orang Batak kasar dan tidak mengenal sopan santun. Di Tapanuli Utara, kita bisa mendapati desa-desa kecil dan terpencil dimana babi berkeliaran didalam rumah. Orang Batak Toba tampak sukar diatur. Walau mereka tidak dapat dikatakan kotor, mereka tidak memperhatikan kebersihan badan. Orang Mandailing sebaliknya, tampak necis, sopan dan berdisiplin. Desa-desa Mandailing lebih bersih debanding desa Batak. Mereka memelihara kambing bukan babi. Orang Mandailing memperhatikan kebersihan lingkungan, rumah-rumah, dan masjid-masjid bersih dan terpelihara.

“KERAJAAN PRIBADI” (SAHALA HARAJOAN) DAN MIGRASI
Konflik di dalam kantor etnik Batak harus berada dalam konteks gagasan kulturalmereka mengenai sahala hasangopon. Sahala adalah sifat tondi (semangat sebagai esensi manusia), yaituwatak alami selain kekuatan dan wewenang manusiawi. Hasangopon berarti sesuatu kualitas yang dihormati sebagai akibat dari dimilikinya sahala. Maka sahala hasangopon adalah kualitas kehormatan diri yang juga berarti bahwa seseorang itu patut dihargai olehorang lain. Namun sahala hasangopon itu baru menjadi kenyataan apabila seseorang telah memperlihatkan prestasinya. Kompleks sahala hasangopon juga mendorong susku Batak untuk berpindah dan mendirikan kerajaan-kerajaan baru.
Bahwa kompleks sahala hasangopon itu sendiri dapat menyebabkan komunitas Batak (Toba, Mandailing, Sipirok,dll) menjadi terpecah. Kompleks sahala hasangopon dikalangan sub-etnik Batak bisa dianggap sebagai faktor utama yang menjelaskan kenapa mereka masuk agama ini. Masuk Islam maupun Kristen rupanya membantu perdagangan dengan orang-orang yang telah berbudaya, misalnya suku Minangkabau, Melayu, dan Belanda, menganggap animisme itu terbelakang. Beragama juga memberikan lebih banyak prestise berhadapan dengan kelompok-kelompok etnik lain. Konsep animis mistis mengenai sahala hasangopon diubah menjadi sahala hasangopon Islam atau Kristen, yang memperkuat dorongan-dorongan dari kompleks ini. Demikianlah maka terdapat alasan ideologis maupun ekonomik yang mendesak untuk memeluk agama dan merantau.
Persaingan antara Mandailing, Minangkabau, dan Batak Toba dipertajam dengan mengembangkan pendidikan yang memberi mereka akses kepada pekerjaan-pekerjaan baru dalam perantauan. Minat yang meningkat terhadap pendidikan umum itu juga memperoleh dorongan dari aspek penting lainnya dari dunia kolonial yang mulai berubah dalam tahun 1870-an itu, yaitu dianutnya polotik etis oleh pemerintah kolonial Belanda. Kebijakan ini menganjurkan pemerataan pendidikan bukan saja untuk mengisi jabatan-jabatan birokratik tertentu, tetapi sebagai bagian dari suatu program perbaikan yang lebih luas termasuk perbaikan standar kehidupan penduduk asli Indonesia.

PENGERTIAN KEBUDAYAAN DALAM KOGNITIF


Teori Kebudayaan menurut keesing ada 2 pendekataan:
1. Kebudayaan sebagai sistem adaptasi
2. Kebudayaan sebagai sistem gagasan atau ide

Kebudayaan Sebagai Sistem Adaptasi :
- Berasal dari perspektif evolusi terhadap kebudayaan
- Pembelajaran budaya menyebabkan kehidupan manusia bertahan dalam situasi ekologis tertentu.

Asumsi Memandang Kebudayaan Sebagai Sisi Adaptasi :
1. Budaya merupakan sistem pada perilaku yang ditransmisikan secara sosial dan bertujuan untuk mengjaitkan komunitas manusia dengan lingkungannya.
2. Perubahan budaya yang terjadi disebabkan proses adaptasi terhadap lingkungan
3. Teknologis, subsistensi ekonomi dan organisasi sosial yang terkait secara langsung dengan proses produksi merupakan bidang sentral kebudayaan yang paling adaptif.

Komponen sistem budaya berupa ide/gagasan mempunyai konsekuensi adaptif dalam mengendalikan populasi, mendukung subsistensi, mempertahankan ekosistem.
Kebudayan Sebagai Gagasan yang berawal tentang apa yang disebut sebagai mens (bahasa Latin) dan mind (bahasa Inggris)
Asumsi memandang kebudayaan sebagai sistem gagasan :
1. Kebudayaan Sebagai Sistem Kognisi
Dipengaruhi oleh aliran psikologis kognitif, bahwa ide merupakan awal dari segalanya.
Budaya bukan Cuma dianjarkan, tetapi melalui pemikiran sendiri untuk menginterprestasi budaya. Tiap individu dapat mempunyai budaya yang berbeda budaya berada pada kognisi perindividu
Tokoh: Goodenough

2. Budaya Sebagai Struktural
Budaya dipandang sebagai struktur terdiri dari komponen budaya yang saling berhubungan. Komponen budaya berubah yang lain ikut menyesuaikan perubahan tersebut.

3. Budaya Sebagai Simbolik
Budaya terdiri dari simbol-simbol, dimiliki bersama oleh anggota masyarakat, tergantung pada persepsi seseorang dapat mengartikan makna dari simbol
Tokoh: C. Geertz


Kebudayaan Sebagai Sistem Gagasan : Paradoks dan Masalah
Ketidaksetujuan konseptual kebudayaan sebagai sistem gagasan
- Goodenough : kebudayaan sebagai gagasan yang secara sistematis menghubungkan dunia kognitif individu dan perilaku kolektif populasi
- Levi strauss : budaya lebih dari perilaku individu, bahkan batas etnis, namun representasi kolektif merefleksikan proses dari pikiran individu
- Geertz : ada keterkaitan makna yang dimiliki bersama.

Dihadapkan Dilema Konseptual
Disatu pihak reduksionisme kognitif yang luput dari simbol yang dimiliki bersama. Dipihak lain, dunia simbol budaya yang seakan otonom dan akan seragam yang bebas dari kendala pikiran yang menciptakan dan mengajarkan kebudayaan

Menuju Penguraian Konseptual
Konsepsi kebudayaan merupakan bentuk dari kemampuan yang berbeda dan didistribusikan dalam populasi, sehingga membawa pengetahuan yang berkembang. Meskipun tidak seorangpun pelaku asli mengetahui kebudayaannya, masing-masing punya versi yang bervariasi. Budaya tidak hanya sebagai koleksi simbol tetapi sebagai sistem pengetahuan yang menghasilkan model-model simbol, sehingga Keesing dan Schneider menyatakan budaya sebagai sistem pengetahuan harus diselidiki dan dipetakkan

ASUMSINYA
1. Pertanyaan para antropolog sebagian berkisar pada budaya sebagai sistem pengetahuan Simbol yang dimiliki bersama
2. Untuk memahami perubahan dan keanekaragaman, melihat kebudayaan sebagai elemen yang kompleks dari manusia dalam lingkungan
3. Untuk membuat analisis budaya, haruslah memetakan sistem sosial, ekosistem dan psikologis dan biologi individu

SUKU OSING


LETAK GEOGRAFIS

Suku Using terletak di Jawa Timur dan kurang lebih menempati separuh dari wilayah Banyuwangi. Banyuwangi adalah sebuah kabupaten di provinsi Jawa Timur di Indonesia. Kabupaten ini terletak di wilayah ujung paling timur pulau Jawa. Sebelah utara berbatasan dengan kabupaten Situbondo. Sebelah timur berbatasan dengan selat Bali. Sebelah selatan berbatasan dengan samudra Hindia. Dan sebelah barat berbatasan dengan kabupaten Jember dan kabupaten Bondowoso.
Pelabuhan Ketapang menghubungkan pulau Jawa dengan pelabuhan Gilimanuk di Bali. Suku Osing adalah penduduk asli Banyuwangi dan merupakan penduduk mayoritas di beberapa kecamatan di Kabupaten Banyuwangi. Masyarakat Banyuwangi yang masih memiliki budaya asli suku Using yakni Desa Kemiren, kecamatan Glagah, dan kabupaten Banyuwangi. Wilayah desa Kemiren termasuk dari daerah daratan yang banyak sumber-sumber air atau yang dikenal oleh masyarakat setempat sebagai belik

SEJARAH

Suku Osing adalah penduduk asli dari Banyuwangi yang telah menjadi penduduk mayoritas. Osing lahir akibat runtuhnya kerajaan Majapahit. Pada waktu itu orang-orang Majapahit mengungsi kebeberapa tempat, yaitu lereng gunung Bromo (suku Tengger), Blambangan (suku Osing) dan Bali, peristiwa ini terjadi sekitar tahun 1478 M. Kerajaan yang didirikan oleh masyarakat Osing adalah kerajaan terakhir yang bercorak Hindu-Budha.

SISTEM RELIGI

Pada awal terbentuknya masyarakat Osing, kepercayaan pertama suku Osing adalah ajaran Hindu-Budha seperti halnya Majapahit. Seiring dengan berkembangnya kerajaan Islam di Pantura menyebabkan agama Islam menyebar dengan cepat dikalangan suku Osing, sehingga pada saat ini agama masyarakat Osing sebagian besar memeluk agama Islam. Selain agama Islam, masyarakat suku Osing juga masih memegang kepercayaan lain seperti Saptadharma yaitu kepercayaan yang kiblat sembayangnya berada di timur seperti orang Cina, Pamu (Purwo Ayu Mandi Utomo) yaitu kepercayaan yang masih bernafaskan Islam. Sistem religi yang ada di masyarakat Osing ada yang mengandung unsur Animisme, Dinamisme, dan Monotheisme.

BAHASA

Bahasa asli suku Osing merupakan turunan langsung dari bahasa Jawa kuno, namun dialek bahasa Osing berbeda dengan bahasa Jawa. Bahasa Osing mengenal sisem ajaran yang khas yaitu kata-kata yang didahului dengan konsonan (B, D, G) serta di beri sisipan (Y), contohnya : abang menjadi abyang, abah menjadi abyah.

MATA PENCAHARIAN

Macam-macam mata pencaharian masyarakat suku Osing yaitu dengan keadaan topografi daerah Banyuwangi terutama desa Kemiren yang cukup tinggi maka macam-macam mata pencaharian di masyarakat Kemiren adalah Pegawai Negeri, ABRI, Guru, Swasta, Pedagang, Petani, Peternak, Pertukangan, Buruh Tani, Pensiunan, Nelayan, Pemulung, Buruh Biasa, dan Buruh Jasa.
Macam-macam jenis hasil mata pencahariannya yaitu hasil pertanian yang terdiri dari atas padi, jagung, ketela pohon, ketela rambat, kentang, tomat, bawang, kacang panjang, terong, timun, dan lain-lain. Selain itu juga terdapat hasil perkebunan yang terdiri atas kelapa, kopi, cengkeh, randu, mangga, durian, pisang, rambutan, pepaya, apokat, jeruk, dan blimbing. Dan ada terdapat juga hasil perindustrian yang terdiri atas tenunan, atau plismet, ukir-ukiran, dan kerajinan barang lainnya.
Dalam bermata pencaharian masyarakat suku Osing terdapat teknik-teknik dalam bermata pencaharian yaitu cara kerja yang dilakukan masyarakat suku Osing yaitu seperti dalam teknik pertanian yaitu membajak, dan pembasmian hama dan teknik dalam home industri yaitu menenun, dan mengukir.

ORGANISASI SOSIAL

Pola perkawinan. Masyarakat suku Osing di Banyuwangi mempunyai tradisi perkawinan yang terpengaruh gaya Jawa, Madura, Bali, bahkan pengaruh dari suku lain di luar Jawa dalam hal gaun pengantinnya. Di lingkungan masyarakat suku Osing Banyuwangi berlaku adat perkawinan dengan melalui tahap-tahap sebagai berikut : (1) tahap perkenalan; (2) tahap meminang; (3) tahap peresmian perkawinan. Selain dari tahap-tahap tersebut, masyarakat suku Osing Banyuwangi juga mengenal adat perkawinan yang cukup menarik, yaitu Adu Tumper dan Perang Bangkat.
Sistem organisassi sosial. Suku Osing berbeda dengan suku Bali dalam hal stratifikasi sosial. Suku Osing tidak mengenal kasta seperti halnya suku Bali. Pola kekerabatan di masyarakat suku Osing adalah bilateral yang lebih mengararah pada patrilineal. Sistem lembaga masyarakat suku Osing antara lain kepala desa, sekretaris desa, LMD, kaur pemerintahan, kaur kesra, kaur pembangunan, dan kaur keuangan.

KESENIAN

Suku Osing banyak memiliki kesenian yang unik dan sarat akan magis. Kesenian suku Osing adalah kesenian yang memiliki keaneragaman corak budaya, sebab dalam keseniannya suku Osing banyak dipengaruhi oleh Bali, akan tetapi corak keseniannya juga dipengaruhi oleh Madura dan Eropa. Kesenian suku Osing diantaranya adalah :
1. Tarian yaitu tari gandrung door, tari jejer dawuh, tari jejer gandrung, tari sumber wangi, tari padang wulan, tari jaran goyang, tari kunthulan, tari barong, tari seblang, tari jengger, tari jaran kecak.
2. Lagu daerah yaitu padang wulan, jejer gandrung, jaran ucul.
3. Seni musik dan instrumen musik yaitu angklung caruk, angklung paglak, karawitan, selentem, peking, gong, ketuk, kluncing, biola, sason, saron, gamelan Osing.

SISTEM PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI

Pengetahuan tentang alam sekitar (dongeng, legenda mitos), pengetahuan tentang flora, makanan khas, obat-obatan.
Perlengkapan :
1. Perlengkapan berlindung :
· Jenis rumah dan bentuk rumah : tikel balung, baresan, serocokan.
· Bagian dan fungsi ruangan rumah : amperan, bale,/jerungan, pawon.
2. Perlengkapan alat mata pencaharian : teter, singkal, patuk sangkan, boding, atau parang, kilung.
3. Alat perlengkapan rumah tangga.
4. Alat perlengkapan dalam ritual keagamaan.
5. Alat transportasi meliputi mobil pick up yang digunakan untuk mengangkut barang-barang dan juga orang.
6. Senjata : pedang, keris, cundrik, tolop, tolop sengkop.

ASPEK PEMBANGUNAN

Pemerintah Banyuwangi menyadari potensi dasar pada budaya suku Osing dengan menetapkan desa Kemiri di kecamatan Glagah sebagai desa adat yang harus dilestarikan agar dapat memelihara nilai-nilai budaya suku Osing.

NILAI BUDAYA

Nilai budaya yang terdapat pada suku Osing adalah menjunjung tinggi kegotong royongan, kerja bakti, arisan, silaturrahmi atau saling berkunjung dan sumbang menyumbang.

SUKU LAMPUNG

SEJARAH

Suku bangsa Lampung konon berasal dari Skala Brak, yang sekarang merupakan bagian wilayah kecamatan Belalau, kabupaten Lampung Utara. Asal kata “Lampung” sendiri konon berasal dari kata “terapung” yang berkaitan dengan turunnya dari langit tokoh ternama ‘Si Lampung Ratu Bulan’. Pendapat lain menghubungkan kata itu dengan ucapan “to-lang-p’ao-whang” yang ada dalam catatan Cina. Akhirnya ucapan “to-lang-p’ao-whang” berubah menjadi Lampung.

DESKRIPSI LOKASI

Suku Lampung adalah suku yang menempati seluruh provinsi Lampung dan sebagian provinsi Sumatra Selatan bagian selatan dan tengah. Suku bangsa Lampung dibedakan menjadi 2 sub-suku bangsa yakni Lampung Pepadun, dan Lampung Peminggir. Lampung Pepadun berada di kecamatan kota Bumi, Abung Barat, Sukadana, Terbanggi Besar, Gunung Sugih. Sedangkan, Lampung Peminggir berada di daerah Labuhan Meringgai, Liwa, Kenali, Pesisir, Cukuh Balak, Talang Padang, Kotaagung, Wonosobo.

UNSUR BUDAYA :

A. BAHASA
Bahasa orang Lampung disebut behasou Lampung atau umung Lampung atau cewo Lampung. Bahasa ini dibagi menjadi 2 logat yakni :
1. Logat Lampung Belalau, terbagi lagi menjadi :
a. logat Jelma Doya,
b. Pemanggilan Peminggir,
c. Melinting Peminggir
d. Pubian.
2. Logat Lampung Abung, terbagi lagi menjadi :
a. Sub dialek Abung
b. Sub dialek Tulang bawang.
Orang Lampung juga memiliki aksara sendiri yang disebut surat Lampung.

B. PENGETAHUAN
Pada masa lalu orang Lampung telah mengenal pola perkampungan yang menyebar disepanjang aliran sungai. Orang Lampung juga telah memiliki aksara sendiri. Selain itu, mereka juga sudah mengenal bangunan semacam lumbung disebut “walai” atau “balai” untuk menyimpan bahan makanan pokok.

C. TEKNOLOGI
Pada masa lalu, orang Lampung telah memiliki keris yang disebut emas wai besi yang dipakai khusus oleh golongan bangsawan pada masyarakat Lampung Pepadun.

D. RELIGI
Orang Lampung merupakan pemeluk agama Islam. Tetapi walaupun dikenal sebagai pemeluk agama Islam, di kalangan masyakarat Lampung masih berkembang sisa-sisa kepercayaan lama yang mereka sebut kepercayaan pada Zaman Tumi. Mereka juga mempercayai makhluk-makhluk halus dan benda-benda kuno dengan kekuatan saktinya. Sehubungan dengan kepercayaan ini, mereka mengenal berbagai upacara adat dengan berbagai sesajian sebagai pelengkapnya.

E. KESENIAN
Orang Lampung dikenal sebagai penghasil kain tenun tradisional (tapis) dengan motif hiasan yang indah. Pada masa lalu, kain tapis ini hanya digunakan pada upacara perkawinan atau upacara adat lainnya. Bentuk kesenian lainnya yaitu jenis tari-tarian yang dikembangkan untuk kebutuhan upacara-upacara adat, misalnya tari sambai, tari kipas, dan sebagainya. Mereka juga memiliki alat-alat musik miasalnya, gendang, kulintang, talo, dan serdam (suling bambu).

F. MATA PENCAHARIAN
Orang Lampung pada umumnya hidup dari bercocok tanam. Dahulu, mereka mengerjakan ladang (umbulan) dengan sistem perladangan berpindah-pindah. Hasil pertanian yang terkenal antara lain kopi, lada, karet, dan cengkeh. Selain bercocok tanam, sejak dulu orang Lampung sudah mengenal usaha peternakan binatang yang diternakkan meliputi kerbau, sapi, kambing, dan unggas.

G. ORGANISASI SOSIAL
Ø Perkawinan Bentuk perkawinan masyarakat Lampung dibedakan atas 2 bentuk, yaitu
1. Perkawinan biasa. Dalam perkawinan biasa seorang istri dan anak-anaknya menjadi anggota kelompok suaminya. Sebagai gantinya, suami diwajibkan memberikan mas kawin dan uang jujur (uang jojoh).
2. Perkawinan semanda. Dalam perkawinan ini, pihak keluarga laki-laki tidak membawa uang jujur, tetapi sang suami dan anak-anaknya menjadi anggota keluarga sang istri.
Selain itu, dalam perkawinan pada masyarakat Lampung, ada larangan kawin antara orang-orang yang tidak sederajat.

Ø Kekerabatan
Prinsip penarikan garis keturunan orang Lampung bersifat patrilineal. Pada masyarakat Saibatin pengelompokan dalam satu kampung membentuk sebuah klen kecil yang disebut sebatin yang terbentuk atas dasar keturunan atau perkawinan. Secara umum anak laki-laki tertua dari keturunan yang lebih tua mempunyai kedudukan istimewa, yaitu sebagai ahli waris keluarganya.

Ø Sistem kemasyarakatan
Pada masyarakat Lampung Saibatin, pemimpin Saibatin disebut penyimbang sebatin. Sedangkan pada masyarakat Lampung Pepadun, dipimpin oleh penyimbang tiyuh. Beberapa tiyuh tergabung menjadi satu kesatuan lebih besar disebut buay atau kebuayan. Pada masyarakat Lampung Pepadun berlaku hukum adat yang didasarkan pada Piagam Adat Lampung Siwo Migo. Pelanggaran terhadap ketentuan adat dikenai sanksi berupa denda atau keharusan melaksanakan upacara adat.

NILAI-NILAI BUDAYA

Ø Sakai Sambayan adalah gotong royong, tolong menolong.
Ø Pi’il Pesenggiri adalah harga diri, perilaku, sikap hidup.
Ø Nemui Nyimah adalah murah hati, dan ramah tamah terhadap semua.
Ø Nengah Nyappur adalah membuka diri dalam pergaulan.
Ø Bejuluk Beadek adalah saling menghormati.

ASPEK PEMBANGUNAN

Pada masa lalu, masyarakat Lampung mengenal adanya pembagian pelapisan sosial. Tetapi dengan berjalannya waktu, sistem pelapisan sosial ini mulai berubah. Kalangan rakyat biasa dapat tampil menjadi pemimpin dan memegang kekuasaan. Orng Lampung juga sangat menghormati dan mematuhi hukum adat yang berlaku sebagai cerminan tingkah laku di jaman modern saat ini.